Aku dan Muka Datar
“Pagi Andre, ” sapaku riang kepada Andre sambil mengacak-acak rambut ikalnya di depan pintu gerbang sekolah. Aku lalu mengikutinya. Akan tetapi dia tak menghiraukanku. Dia terus saja berjalan lurus menuju kelas tanpa menjawab sapaanku. Aku lalu menarik lengannya.
“Apaan sih!” serunya sambil menepis tanganku.
“Idih....sombong banget sih kamu, ” jawabku cemberut. Namun Andre tak peduli denganku yang berdiri manyun karena kecuekannya. Dia terus saja berjalan menuju kelas. Andre adalah sosok cowok yang aneh menurutku. Dia itu tidak ganteng, tapi ada sesuatu hal yang membuat aku penasaran dengannya. Dia itu cowok yang agak pemalu dengan cewek. Apalagi kalau diajak bicara cewek, pasti dia tidak mau melihat muka si cewek. Aku dan Andre satu kelas semenjak kami duduk di kelas 3.
v
Awal mulanya aku sih biasa-biasa saja dengannya. Aku memperlakukan dia seperti teman-teman yang lainnya. Tak ada yang istimewa. Hingga pada suatu hari saat pulang sekolah ada kejadian yang sangat gokil bagiku. Hujan turun saat bel sekolah berbunyi yang menandakan kegiatan belajar usai. Karena aku belum dijemput oleh sopirku, aku menunggu di depan kelas bersama temanku. Aku yang biasa dipanggil Neng Yuki merupakan gadis keturunan Sunda dan Jepang.
Balik lagi ke cerita si Andre aneh itu. Saat jenuh menunggu hujan reda, aku ngobrol-ngobrol dengan teman-temanku. Saat itu Andre berdiri di sampingku.
“Ndre, kamu ke sekolah naik motor nggak?” tanyaku.
“Iya. Kenapa?” jawab Andre. Saat itu jaket yang dibawa Andre terjatuh ke lantai. Lalu dia memungutnya. Lalu aku kembali bicara padanya sambil memegang kunci motor yang dipegangnya. Aku tertarik dengan gantungan kunci yang berbentuk kucing.
“Kapan-kapan aku nebeng donk. Kan rumah kita se...” Belum selesai aku bicara, kunci motor yang dipegang Andre terjatuh. Dia membungkuk mengambil kunci tersebut. Akan tetapi handphone yang ada di saku bajunya terjatuh dan jatuh di depan teras kelas yang disitu banyak genangan air. Bagian-bagian handphonenya terurai dan berceceran di genangan air.
“Ya ampun Ndre kamu kenapa sih kok barang-barangmu bisa jatuh-jatuh semua, “ lanjutku padanya yang sedang memungut Baterai dan casing handphonenya.
“Ni gara-gara kamu tuh, “ jawabnya menuduhku.
“Lhoh kok aku?” Tapi dia tak menjelaskan maksud kata-katanya itu. Dia pergi berlalu meninggalkan aku. Aku merasa tak enak padanya karena gara-gara aku ingin melihat gantungan kuncinya hingga gantungannya terjatuh dan handphonenya pun ikut terjatuh pula.
Keesokan harinya aku minta maaf padanya dan aku bilang padanya kalau aku akan mengganti biaya service handphonenya.
“Beliin aku handphone baru donk, nanti baru aku maafin, ” jawabnya enteng.
“What??? Dasar, udah mending aku mau ganti biaya service. Ni malah minta lebih.”
Aku bingung memikirkan kejadian kemarin. Kok bisa-bisanya barang-barang yang dibawanya berjatuhan semua. Apa karena dia grogi ya waktu ngobrol ma aku. Secara aku kan cantik. Pasti dia grogi. Lalu muncul ide untuk nggodain dia. Dan sejak saat itu aku selalu ngerjain dia dimanapun dia berada.
v
Huh, ngantuk sekali siang ini. Pelajaran Ekonomi pula. Gurunya membosanku sekali. Aku menarik buku pelajaranku di depanku yang kugunakan untuk menutupi kepalaku yang kuletakan diatas meja dan memejamkan mataku. Posisi yang sangat strategis untuk tidur, apalagi aku duduk di belakang sendiri. Dan guru pasti berpikiran kalau akau sedang membaca buku tersebut dan memperhatikan pelajarannya. Padahal aku tak tahu Pak Rahmat sedang menerangkan tentang apa, mungkin menerangkan korupsi. Tapi mana ada materi korupsi di kelas 3. Ah masa bodo lah, aku ngantuk sekali gara-gara tadi malam nonton film sampai larut malam.
Aku bangun dari meja dan merenggangkan otot-ototku ke kanan dan ke kiri. Saat itu pandanganku mengarah ke Andre. Aku iseng saja memandanginya terus menerus. Dan saat itu aku Andre menoleh ke arahku. Mungkin dia merasa kalau aku sedang memandanginya. Aku lalu tersenyum padanya ketika dia menoleh kearahku. Namun dia cuek saja lalu berbalik ke arah Pak Rahmat yang sedang berceramah sepanjang rel kereta api. Mungkin dia bosan karena sudah berkali-kali aku memandanginya. Hal ini memang ku sengaja. Aku ingin membuatnya salah tingkah. Karena dia itu memang aneh kalau dengan cewek. Itulah yang membuatku semakin penasaran dengannya. Aku ingin tahu lebih dalam sebenarnya dia itu orangnya seperti apa.
Andre juga bisa disebut juga manusia tanpa ekspresi. Maka dari itu aku menjulukinya Andre ‘Muka Datar’. Entah itu keadaan senang, lucu maupun sedih, dia tetap saja tak ada ekspresi. Apalagi dia kalau dijak bicara sering menjawab dengan dua macam gerakan tubuh yaitu mengangguk dan menggeleng. Dan bila diajak bicara sama cewek, kepalanya pasti sering menunduk ke bawah. Aku nggak tau dia itu malu-malu atau grogi.
v
Pukul 06.45 aku ngobrol-ngobrol dengan Lia dan Sisi di bangkuku yang dekat dengan pintu kelas belakang. Saat itu kelas masih sepi. Biasa anak-anak kalau datang ke sekolah pasti mepet bel sekolah. Malah banyak yang telat. Kurang 5 menit dari bel masuk berbunyi, sekolah baru akan ramai.Tapi kalau akau sih sudah terbiasa berangkat awal. Soalnya berebut tempat duduk. Jadi biar aku bisa dapat tempat duduk belakang, aku harus berangkat lebih awal daripada anak-anak. Aku biasanya sampai di sekolah pukul 06.40. Saat itu kelas masih sepi. Paling-paling yang berangkat baru satu atau dua orang.
“Si, ada PR nggak?” tanyaku pada Sisi yang sedang asyik memakai lipstik di bibirnya. Dan yang di tanya hanya menggelengkan kepala. Saat itu aku melihat Andre berjalan menuju kelas. Aku langsung berdiri dan siap untuk menghadangnya. Akhirnya di saat dia hendak melewati pintu, aku berdiri di pintu sambil tersenyum menggoda kepadanya.
“Pagi muka datar, “ sapaku padanya. Aku sering memakai kata ‘muka datar’ kalau aku memanggilnya. Dan yang disapa pun tak membalas sapaanku. Dia hanya menundukan kepalanya ke bawah tak berani menatapku. Tapi aku tetap tak beranjak dari pintu itu, aku terus menghalanginya walaupun dia berusaha menerobos masuk dan mendorong tubuhku kesamping.
“Minggir.” Akhirya keluar juga satu kata dari mulutnya dengan ekspresi datar.
“Nggak boleh lewat kamu, “ jawabku.
Namun akhirnya aku memberikan jalan untuknya karena dibelakangnya ada beberapa temenku yang mau masuk. Tapi tunggu dulu, keisenganku belum berakhir sampai di sini. Setelah dia masuk ke dalam kelas, dia menaruh jaket dan tas di bangkunya. Lalu dia keluar kelas dan mengobrol dengan anak-anak yang lainnya di teras kelas. Saat itu pula kugunakan kesempatanku untuk menyembunyikan tas dan jaketnya. Tasnya aku taruh di laci meja guru sedangkan jaketnya aku masukan ke dalam tasnya Dika. Tepat pukul 07.00 bel masuk berbunyi. Sepuluh menit kemudian Bu Neni guru bahasa Indonesia masuk ke dalam kelas 3 IPS 2. Seluruh anak masuk yang tadinya berada di luar kelas akhirnya berebut masuk ke dalam kelas. Kulihat Andre yang sedang kebingungan mencari barangnya. Aku cekikikan sendiri melihat ulah dan ekspresinya.
“Kenapa kamu Neng?” tanya Feni teman sebangkuku.
“Tuh liat aja si Andre muka datar, “ jawabku sambil tertawa. Namun tawaku terhenti sebentar karena seluruh siswa berdoa sebelum pelajaran dimulai. Selesai berdoa aku dan Feni tertawa melihat si Muka Datar masih kebingungan sambil menanyai teman-temannya satu persatu.
“Kasihan tuh Andre, ” ucap Feni.
“Biarin, ” sahutku.
“Senang amat sih kamu ngerjain dia. Jangan-jangan kamu naksir ya?”
“Enak aja naksir. Aku tu cuma penasaran aja ma dia.”
“Itu tu sama aja dengan naksir.”
“Enak aja, “ timpalku sambil mencubit lengan Feni.
“Anak-anak ini tasnya siapa?” seru bu Neni mengagetkanku di depan kelas sambil tangannya ke atas memperlihatkan tas warna biru.
“Saya,” seru Andre datar sambil mengacunkan tangannya. Sontak aku dan Feni tertawa kembali dan diikuti teman satu kelas.
“Kok bisa disini?” tanya bu Neni. Akhirnya Andre hanya bisa menjawab dengan senyuman sambil berjalan ke depan mengambil tasnya. Walaupun tasnya sudah ketemu, Andre tetap saja masih kebingungan mencari jaketnya. Dan Dika pun tak tahu kalau ternyata di dalamnya ada jaketnya Andre, karena Dika selama pelajaran tak membuka tasnya. Dia malah asyik sms-an dengan pacarnya.
v
Malam yang sangat panjang karena aku tidak bisa tidur. Akhirnya aku iseng-iseng menekan-nekan tombol handphone tanpa tujuan yang jelas. Aku membuka menu-menu yang ada di handphoneku. Sampai akhirnya pada menu kontak nomor telepon. Dan jariku berhenti menekan tombol ketika aku melihat nama Andre tertera di layar handphoneku. Akhirnya muncul lagi ide jahilku. Aku mengganti kartu SIM dengan kartu SIM yang tak pernah kupakai dan tak ada orang yang tau kalau itu nomerku. Akhirnya aku mulai mengetik sebuah kata dan sms tersebut kukirim. Beberapa menit handphoneku berbunyi.
“Hay juga. Ni sapa ya?” balas Andre.
“Aku Tya. Boleh kenalan nggak?”
“Tya sapa. Boleh.”
“Lha terus ini sapa?”
“Aku Andre. Tya anak mana?”
“Anak Sukabumi.”
Begitulah sms berlangsung sampai dua puluh inbox masuk di handphoneku. Dan isinya berisi perkenalan. Aku sampai tersenyum-senyum sendiri membaca pesan masuk darinya. Dia itu orangnya jujur sekali.
Keesokan harinya, kejahilanku masih tetap berlangsung. Di waktu pelajaran, aku sms-an ma Andre dengan nomer rahasiaku yang kupakai semalam. Padahal Andre saat itu duduk di dua bangku depanku dari bangkuku.
“Sibuk sms-an ma sapa Neng?” tanya Feni padaku.
“Ssst!!! Jangan keras-keras. Aku lagi ngerjain Andre lewat sms.”
“Andre lagi...Andre lagi. Hati-hati lho, nanti kamu karma. “
“Karma apa? Ngawur kamu tuh. Nih coba lihat, dia tu jujur banget anaknya. Dia tu nggak pakai nama samaran waktu aku tanya namanya. Dia juga jujur tentang alamat rumahnya dan sekolahnya. Dan ternyata dia belum punya cewek. Dan nyuruh aku untuk nyariin cewek. Tapi dia ngajak ketemuan ma aku, “ ucapku kegirangan.
“Nah tuh dah mulai karma kan.”
“Mana karmanya?”
“Ya itu kamu senang kalau ternyata dia belum punya cewek.”
“Nggak Fen, aku tu nggak suka ma dia. Tapi Cuma penasaran aja ma dia.”
“Sama aja itu.”
“Tau ah, “ jawabku cuek sambil berkonsentrasi memikirkan jawaban sms kalau dia ngajak ketemuan. Tidak mungkin aku ketemu dia. Bisa gawat kalau aku ketemu dia, pasti dah ketahuan kalau Tya itu aku.
Setelah istirahat, pelajaran Matematika kosong. Suasana kelas gaduh sekali. Walaupun sudah diberi tugas untuk mengerjakan Matematika, namun anak-anak tetap saja mengabaikan tugasnya dan hanya menyontek tugas teman di akhir jam pelajaran. Hanya ada lima orang anak dari empatpuluh yang berkonsentrasi mengerjakan tugas.
“Fen, telpon Andre yuk,” kataku.
“Ngapain?” jawab Feni.
“Iseng aja”.
Akhirnya aku pun menekan menu panggil nomor Andre. Tapi sebelumnya nomorku aku setting privat number. Aku membiarkan handphoneku berada di dalam laci mejaku. Karena tentunya aku tak ingin bicara padanya karena suaraku itu sangat mudah diketahui kalau itu aku. Kulihat Andre sedang merogoh saku celana untuk mengambil handphonenya. Lalu dia menekan tombol jawab dan mengucapkan ‘hallo’. Aku dan Feni saling berpandangan menahan tawa.
Berhubung tak ada jawaban dari suara di seberang sana, dia memberikan handphonenya kepada Dimas.
“Hallo. Sapa ini?” seru Dimas. “ Kok nggak ada jawaban sih?”
“Ndre ni sapa?” tanyanya kepada Andre. Andre hanya mengangkat kedua bahunya.
Dimas terus ‘ber-hallo’ dengan handphone Andre. “Ssstttt...sepertinya ini anak sini deh, soalnya ini kelihatan ribut banget,” serunya dengan keras. Sontak anak sekelas yang tadinya sedang asyik dengan kegiatan masing-masing langsung pada diam mendengar seruan Dimas. Buru-buru tanganku kumasukan ke dalam laci dan menutupi handphoneku dengan jaket agar suaranya bisa keredam di telinga Dimas. Setelah itu tasku juga kumasukan kedalam laci agar suara lebih tak terdengar. Lalu Dimas jalan selangkah demi selangkah ke tempat duduk anak-anak. Dia berjalan sambil mendengarkan suara di handphone dan mencoba mencocokan dengan suara di kelas.
“Ow...kamu ya Ris,” seru Dimas sambil menunjuk Riski yang duduk dengan segerombolan anak laki-laki di belakang sana.
“Woh, nggak. Bukan aku,” jawab Riski sambil cengar-cengir. Waktu itu memang kelakuan Riski memang agak mencurigakan jadi pantas kalau dituduh sebagai tersangka. Aku dan Feni tak kuasa menahan tawa. Tapi aku tetap harus menahan tawa agar tak ketahuan kalau itu aku yang ngerjain. Aku hanya bisa pura-pura tidur dengan kepala tengkurap di meja untuk menyembunyikan tawaku. Akhirnya daripada aku sesak karena tidak bisa menahan tawa, aku mematikan panggilanku dengan Andre.
“Lho dimatiin,” seru Dimas. Setelah itu kelas gaduh kembali. Aku bisa tertawa sepuas-puasnya.
“Kamu ya Neng yang ngerjain?” tanya Lia padaku. Aku hanya bisa mengangguk dengan tertawa sampai-sampai perutku sakit karena kebayakan tertawa.
v
Pada waktu istirahat, aku melihat Andre sedang duduk dengan adek kelas di depan teras kelas. Dan ternyata aku kenal dengan adek kelas itu, namanya Tania. Ada apa ya mereka duduk bareng disitu? Memang sih banyak gosip kalau Andre itu suka sama Tania. Aku juga pernah baca smsnya Tania dan Andre waktu aku ngumpetin handphonenya Andre. Aku cuek saja lewat di depan mereka lalu aku masuk ke dalam kelas. Tapi apa yang terjadi setelah aku masuk ke dalam kelas?
“Wah...Yuki cemburu nih. Andre sedang berduaan dengan Tania,” sorak teman-temanku yang ada di dalam kelas.
“Apaan sih kalian itu, “ bantahku. Aku malu sekali saat itu. Apalagi sorak mereka sampai terdengar di luar. Bagaimana kalau Tania tahu? Aku tidak mau kalau Tania mengira kalau aku menyukai Andre. Aku kenal dekat dengan Tania. Tania pernah bilang ke aku waktu itu. Andre itu kalau sms-an sama Tania, Andre itu selalu blak-blakan. Tetapi kalau sudah ketemu langsung dengan Tania, Andre pasti hanya diam.Trus aku bilang sama Tania kalau Andre itu memang orangnya seperti itu.
Memang aku sering digosipkan sama teman-temanku. Mereka mengira aku suka sama Andre. Padahal aku itu iseng saja. Aku jadi teringat saat kejadian beberapa minggu yang lalu. Pada waktu itu aku sedang melakukan permainan yang sedang beken di sekolahku. Dan siapa yang kalah, pasti akan mendapat hukuman dari yang menang. Dan saat itu aku kalah. Lalu temenku memberikan hukuman kepadaku. Dan hukumannya adalah aku minta tanda tangannya si ‘Muka Datar’. Aduh, padahal waktu itu Andre sedang duduk di depan sendiri. Aku sudah punya firasat buruk, kalau aku minta tanda tangannya waktu da duduk di depan sendiri, pasti temen-temenku pada ‘nyorakin’ aku.
“Ntar aja ya Ntan,” pintaku pada Intan.
“Sekarang pokoknya, “ jawab Intan.
“Tapi kalu jangan nyorakin aku donk.”
“Iya. Cepetan sana.”
Akhirnya aku berjalan ke depan mendekati bangku yang Andre duduki.
“Ndre, minta tanda tangan donk, “ ucapku sambil menyodorkan kertas. Andre tak menjawab dan tetap meneruskan pekerjaannya yang sedang mngerjakan matematika.
“Andre ganteng...cepetan donk. Aku kalah maen nih ma Intan. Cepeten donk.”
Yang berkomentar bukan Andre melainkan Dani yang duduk di sebelahnya. “Ihi...ni ada acara katakan cinta,” komentar Dani.
“Apaan sih kamu Dan? Nggak usah ikut-ikutan deh. Cepetan donk Ndre, tanda tangan di sini,” pintaku sambil menarik tangannya ke atas kertas.
Andre menarik tangannya kembali. “Nggak mau,” bantah Andre.
“Ayo Ndre terima aja. Jangan ditolak, “ Dani nimbrung lagi. Dan kali ini suara Dani keras sekali, sehingga temen-temenku pada dengar dan perhatian mereka tertuju ke depan dimana aku dan Andre sedang berhadap-hadapan.
“Ihi...Yuki...nembak Andre,” sorak teman-temanku.
“Heh, nggak kok aku cuma minta tanda tangan karena aku kalah main ma Tania,” bantahku. “Cepetan Ndre tanda tangan...tu kan gara-gara kamu kelamaan, mereka jadi ‘nyorakin’ kita.” Akhirnya Andre menandatanganinya. Dan sorak teman-temanku semakin riuh. Karena aku malu sekal, aku pun berjalan ke belakang sambil melempar kertas ke arah Tania.
v
Malam ini ada doa bersama agar semua anak kelas 3 lulus ujian. Selain doa bersama ada acara maaf-maafan dengan teman. Akupun meminta maaf dengan Andre karena aku memang banyak salah dengan dia. Akan tetapi kesalahan itu aku ulangi kembali di saat tanggal 16 April. Tanggal tersebut adalah ulang tahun Andre ‘Muka Datar. Tentunya aku akan mempersiapkan kado spesial untuknya. Malam harinya aku membungkus kado yang kan kuberikan padanya. Kado itu sebenarnya isinya hanya kertas berisi ucapan selamat ulang tahun tanpa nama pengirim. Jadi di dalamnya tidak ada barang untuk hadiah. Dan kado itu aku bungkus dengan berlapis-lapis kertas koran dan yang terakhir adalah kertas kado.
Keesokan harinya aku menaruh kado tersebut di atas sepeda motornya. Dan sewaktu pulang sekolah aku mengintipnya dari balik kelas yang bisa melihat ke arah tempat parkir. Aku melihatnya sedang kebingungan karena ada bungkusan kado di atas motornya. Dia membuka perlahan bungkus kadonya. Akan tetapi setelah itu kadonya dimasukan ke dalam tas. Aku jadi tidak bisa melihat dia membuka kado sampai dia tahu kalau ternyata kadonya kosong. Tapi nggak papa, aku sudah bisa tersenyum sendiri melihat mukanya dia yang kebingungan.
v
“Hey, sepatuku dimana? Sapa sih yang iseng?”, tanyaku pada teman-teman sekelasku.
“Nggak tau, “ jawab Edo.
“Aduh pada nyebelin banget sih. Ngumpetin sepatuku.” Aku mencari cari satu pasang sepatuku yang hilang. Aku yakin ini pasti ulah temanku satu kelas. Karena aku sudah sering mengalaminya.
“Ki, buruan ke kantin!” seru Tata yang saat itu sudah ada di luar kelas.
“Bentar! Lagi nyari sepatuku, “ sahutku dari dalam sambil mencari sepatuku di kolong bangku dan menanyai satu persatu teman-temanku.
“Akhirnya ketemu juga.” Aku menemukan sepatuku di balik mpintu kelasku. “Yuk ke kantin, “ kataku pada Tata yang sudah lama menunggu. Lagipula aku juga sudah laper karena belum sarapan ditambah dosen yang super killer membuatku tambah lapar.
Sekarang aku sudah kuliah di Jogja di jurusan komunikasi.Baru sekitar 3 bulan kuliah. Dan ternyata si Muka Datar juga satu kampus denganku, cuma beda jurusan. Walaupun satu kampus, tapi aku tak pernah bertemu dengannya. Semenjak kuliah aku baru ketemu dua kali dengannya. Yang pertama di rumahnya dan yang satu di kost-nya.
Aku juga pernah melihat Muka Datar sedang lewat di jalan. Waktu itu aku dan Feni sedang belanja buah di pinggir jalan. Pada saat itu aku melihat Muka Datar lewat jalan yang ada di depanku memakai sepeda motor.
“Fen, itu Andre, “ ucapku pada Feni yang sedang memasukan uang kembalian ke dompetnya.
“Mana?” tanya Feni.
“Itu, yang pakai tas biru. Itu kan tas nya Andre, “jawabku sambil menunjuk pada Andre. “Ayo, kejar dia Fen.”
Tanpa pikir panjang, Feni mengikuti perintahku. Dia lalu menghidupkan motornya dan aku segera membonceng di belakangnya. Beberapa detik kemudian kita sudah berada di jalan raya untuk mengejar Andre. Sial, kita terkena lampu merah di pertigaan jalan. Dan kita ada di belakang. Susah sekali mau maju karena saat itu macet. Padahal Muka Datar ada di depan lampu persis. Akhirnya dua menit kemudian lampu hijau menyala. Sial lagi, belum sampai kita berdua belok kanan mengikuti Andre, lampu merah menyala lagi. Terpaksa kitra berhenti lagi.
Setelah menunggu puluhan detik, lampu hijau menyala lagi. Lalu kita belok kanan. Tapi sayangnya kita telah kehilangan jejak Andre. Kita tak tahu Andre kemana lagi. Apalagi di depan sana ada pertigaan lagi. Kita tak tahu Andre mengambil jalan yang kanan atau kiri. Akhirnya kita berdua balik lagi ke tempat semula.
v
Aku benci sekali, keadaanku setelah kuliah berbalik 180°. Dulu waktu aku masih sekolah, aku bisa jahil, tapi sekarang aku yang dijahili. Jadi karma itu memang ada. Setiap hari ada-ada saja temanku yang jahil padaku. Aku sampai sedih sekali dengan keadaan saat ini. Aku benci sekali. Aku hanya bisa menangis dengan semua in. Mereka tak bisa mengerti perasanku.
Seperti pada saat ini, mereka menyebut namaku secara serentak ketika ada dosen yang menyruh salah seorang mahasiswa untuk maju ke depan. Rasanya sakit sekali, aku selalu diperlakukan seperti ini.
Akhirnya malam nanti kuputuskan untuk bertemu Andre di kost-nya. Dan untung sekali malamnya saat aku menemuinya, dia ada di kost.
“Apa?” tanyanya dengan ekspresi masih seperti yang dulu saat melihatku di depan pintu kamarnya.
“Aku ingin minta maaf,” jawabku.
“Minta maaf apa?”
“Ya dulu aku kan sering nganggu kamu, sering jail ma kamu. Nah, sekarang aku minta maaf.”
“Kok baru sekarang?”
“Karena aku karma”.
“Syukurin,” jawabnya datar, sedatar mukanya.
“Aku beneran minta maaf tau, “ jawabku cemberut.
“Emang kamu karma kenapa?”
“Aku sekarang sering dingangguin dan dijahilin teman-temanku.”
“Emang ada yang njahilin kamu?”
“Ih, beneran nih. Maafin aku ya?” pintaku.
Andre hanya diam. “Heh, maafin nggak?” tanyaku tak sabar. Dan Andre hanya meengannguk.
“Kok cuma mengannguk gitu?” tanyaku lagi.
“Iya deh, “ jawabnya.
“Iya apa?”
“Kumaafin.
”Beneran?”
“Iya.”
“Makasih, “ kataku girang sambil mengacak acak rambutnya.
“Apaan sih? “ protesnya sambil menyingkirkan tanganku.
“Sekali ini saja ya, “ jawabku sambil cengar-cengir.
Akhirnya aku dimaafkan ma Andre ‘Muka Datar’. Semoga karma ini berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar